Medan| Wartapoldasu.com – JHN seorang nenek berusia 70 tahun ditetapkan Polrestabes Medan sebagai tersangka pemalsuan akta nikah.
Gugatan itu dilayangkan oleh anak angkatnya berinisial HT. Atas penetapan status tersangka oleh polisi, JHN pun mengajukan upaya praperadilan di Pengadilan.
Lewat kuasa hukumnya, Eben Haezar Zebua, JHN menguji keabsahan proses penetapan dirinya sebagai tersangka.
Pada sidang di Pengadilan Negeri Medan, Senin (1/12/2025), dua saksi ahli hukum pidana dihadirkan.
Keduanya adalah Dr. Andi Hakim Lubis SH., MH., ahli pidana dari Fakultas Hukum Universitas Medan Area, dan Dr. Khomaini, SH., SE., MH. ahli pidana dari Fakultas Hukum UPMI Medan.
Dr. Andi menyampaikan bahwa dalam penetapan tersangka, penyidik harus berpegang pada dua alat bukti serta kualitas dari alat bukti tersebut.
Dalam kasus ini, kata Andi, polisi menetapkan tersangka terhadap seorang nenek berusia 70 tahun atas dugaan pemalsuan dokumen berupa buku nikah.
Karena itu, menurutnya, polisi wajib memeriksa keabsahan dokumen dan meminta keterangan pihak yang mengeluarkan buku nikah tersebut.
“Dalam hukum, kekuatan alat bukti bukan hanya dilihat dari kuantitas, tetapi juga kualitas.
Mestinya dalam kasus ini, polisi membuktikan keabsahan dokumen dengan meminta keterangan dari lembaga atau pihak yang mengeluarkan buku nikah untuk memastikan keabsahannya,” ujar Andi.
Ia menjelaskan bahwa terdapat dua bentuk perbuatan dalam pemalsuan surat:
1. Surat yang sebelumnya tidak ada kemudian diciptakan.
2. Dokumen asli yang diubah sehingga menyerupai yang baru, harus dibuktikan terlebih dahulu. “Tegas Dr. Andi SH. MH. Kepada awak media wartapoldasu.com
Namun menurutnya, dalam persidangan pihak kepolisian belum menjelaskan bentuk pemalsuan yang dilakukan oleh tersangka, termasuk tidak hadirnya pihak penerbit buku nikah untuk mengklarifikasi dokumen yang disebut dipalsukan.
“Kalau disampaikan itu dokumen palsu, harusnya dipanggil pihak yang mengeluarkan dokumen itu. Jika palsu, mana yang asli? Pembuktian harus jelas,” tambahnya.
Sebagai akademisi, Andi menilai kasus ini menyita perhatian publik mengingat tersangka adalah seorang nenek berusia 70 tahun.
“Diduga ada banyak kejanggalan, dan yang dirugikan adalah seorang nenek berusia 70 tahun. Ini harus menjadi perhatian serius,” ucapnya.
Polisi menetapkan JHN sebagai tersangka pemalsuan surat pada September 2025. Ia disangka memalsukan dokumen pernikahan dengan almarhum suaminya, JA, pada tahun 2023.
Setelah suaminya meninggal dunia, JHN yang berstatus janda dengan dua anak kemudian dilaporkan HT, anak angkatnya, atas dugaan pemalsuan akta nikah tersebut.
Sementara itu, Dr. Khomaini SH.,SE.,MH. menjelaskan bahwa praperadilan berfungsi menguji proses penyelidikan, penyidikan, hingga penetapan tersangka oleh polisi.
Ia menilai melalui pandangan hukum sebagai ahli pidana terdapat kejanggalan dalam perkara ini.
Dimana Awalnya laporan terhadap JHN adalah dugaan pemberian keterangan palsu (Pasal 242 KUHP), namun dalam proses penyidikan berubah menjadi pemalsuan dokumen (Pasal 263 KUHP).
“Dalam perspektif hukum, perubahan pasal tidak boleh serta-merta,” tegasnya.
Menurutnya, perubahan pasal harus melalui gelar perkara, adanya bukti baru, saksi baru, dan tersangka harus diberi tahu pasal yang dikenakan.
Khomaini juga menyebut ganjil karena pihak penerbit buku nikah tidak pernah diperiksa oleh penyidik.
“Bagaimana kita mengatakan surat itu palsu kalau pihak yang mengeluarkan dokumen tidak pernah diperiksa? Penyidik harus objektif, bukan subjektif,” Tuturnya. (Red)
- Editor : N gulo
